SOAL
1. Konsep waktu-suhu yang berlaku pada hewan poikilotermik sangat berguna aplikasinya
dalam pengendalian hama pertanian, khususnya dari golongan
serangga. Jelaskan arti konsep waktu secara singkat, dan berikan contoh
ulasannya terkait dengan kasus ulat bulu yang menyerbu tanaman mangga di
Probolinggo Tahun 2010.
2. Jelaskan pemanfaatan konsep kelimpahan,
intensitas dan prevalensi, disperse, fekunditas, dan kelulushidupan dalam kaitannya
dengan penetapan hewan langka!
3. Jelaskan aplikasi konsep interaksi populasi, khususnya parasitisme
dan parasitoidisme, dalam pengendalian biologis. Berikan contohnya!
4. Nilai sikap dan karakter
apa yang harus ditumbuhkan pada siswa ketika belajar konsep-konsep dalam
ekologi hewan? Berikan contoh riilnya!
5. Uraikan satu contoh pemanfaatan indikator hewan untuk monitoring
kondisi lingkungan secara mendetail, mulai dari jenis, prinsip dan praktik
pemanfaatannya!
6. Apakah manfaat pengetahuan tentang relung bagi aktivitas
konservasi? Berikan salah satu contoh hewan langka, lakukan kajian tentang
relungnya. (dalam satu kelas, hewan yang dikaji tidak boleh sama)!
Jawab :
1. Konsep waktu-suhu sangat penting artinya untuk
memahami masalah pewaktuan dari kejadian-kejadian serta dinamika populasi
hewan-hewan ektoterm. Dengan menggunakan konsep waktu-suhu, yang diwujudkan
dalam bentuk jumlah hari-derajat, maka suatu fenomena akibat proses
perkembangan seperti peledakan populasi misalnya dapat diramalkan kapan akan
terjadi (Dharmawan, A.dkk.2005).
Untuk pertumbuhannya,
hewan ektothermal (poikilterm) memerlukan kombinasi antara faktor waktu dan
faktor suhu lingkungan. Hewan ektothermal (poikiloterm) tidak dapat tumbuh dan
berkembang bila suhu lingkungannya dibawah batas suhu minimum kendatipun
diberikan waktu yang cukup lama. Jadi suhu lingkungan menentukan suhu tubuh
hewan poikiloterm. Bahkan suhu menajadi faktor pembatas bagi kehidupannya. Suhu
tubuh menentukan kerja enzim-enzim yang membantu metabolisme di dalam tubuh.
Karena itu dari sudut pandang ekologi, kepentingan suhu lingkungan bagi
hewan-hewan ektoterm tidak hanya berkaitan dengan aktivitasnya saja tetapi juga
mengenai pengaruhnya terhadap laju perkembangannya. Dalam suatu kisaran suhu
tertentu, antara laju perkembangan dengan suhu lingkungan terdapat hubungan
linier. Konsekuensinya ialah bahwa untuk hewan-hewan ektoterm lama waktu
perkembangan akan berbeda-beda. Dengan perkataan lain, pernyataan berapa
lamanya waktu perkembangan selalu perlu disertai dengan pernyataan pada suhu
berapa berlangsungnya proses perkembangan itu. Karena pada hewan ektoterm
(Poikiloterm), waktu (berlangsungnya proses perkembangan) merupakan fungsi dari
suhu lingkungan, maka kombinasi waktu-suhu yang seringkali dinamakan waktu
fisiologis itu mempunyai arti penting (Prihatnawati,
Y. 2012).
Perubahan iklim terutama
temperatur lingkungan ikut mempengaruhi populasi ulat bulu, karena temperatur
yang meningkat dapat mempercepat siklus hidup ulat itu. Populasi ulat bulu
biasanya akan mengalami peningkatan pada musim-musim pancaroba menjelang
datangnya musim kemarau. Temperatur yang meningkat dapat mempercepat siklus
hidup ulat bulu yang semula membutuhkan waktu 4-7 minggu menjadi kurang dari 4
minggu. Tingkat kelembapan yang tinggi juga mengakibatkan sejumlah parasit yang
menjadi predator alami ulat bulu tidak mampu bertahan hidup dan mengontrol
populasi ulat bulu. Meningkatnya populasi ulat bulu juga disebabkan semakin
berkurangnya musuh alami, seperti burung, parasitoid, dan predator lain. Oleh
karena itu, pengendalian terhadap populasi ulat menjadi lankah yang harus
segera dilakukan. Terlebih kemampuan produksi telur ulat betina menacapai 70 sampai
300 butir per-ulat. Perubahan iklim global
menjadi faktor utama. Akibat adanya perubahan iklim, terjadi
perubahan suhu dan kelembaban udara
(Ainur.2012).
2. Populasi
adalah himpunan individu-individu suatu spesies organisme yang terdapat di
suatu tempat pada suatu waktu. Satuan terkecil pembangun populasi adalah
individu. Individu-individu suatu spesies hewan di suatu tempat memperlihatkan
variasi individu, yakni persamaan dan perbedaan menyangkut aspek-aspek
fisiologis, struktural-morfologis, perilaku, baik yang bersifat herediter
maupun tidak. Tinggi rendahnya jumlah individu populasi suatu spesies
hewan menunjukkan besar kecilnya ukuran populasi atau tingkat kelimpahan
populasi itu. Area suatu populasi tidak dapat ditentukan batasnya secara pasti,
sehingga kelimpahan (ukuran) populasi pun tidak mungkin dapat ditentukan (Rachmawati,
A.2012)
Intensitas menunjukkan
aspek tinggi rendahnya kerapatan populasi dalam area yang dihuni spesies.
Prevalensi menunjukkan jumlah dan ukuran area-area yang ditempati spesies dalam
konteks daerah yang lebih luas (masalah sebaran). Suatu spesies hewan yang
prevalensinya tinggi (=prevalen) dapat lebih sering dijumpai. Spesies yang
prevalensinya rendah, yang daerah penyebarannya terbatas (terlokalisasi) hanya
ditemui di tempat tertentu. Spesies hewan dapat dimasukkan dalam salah satu
dari empat kategori berikut:
Ø
prevalensi
tinggi (=prevalen) dan intensitasnya tinggi
Ø
prevalensi
tinggi (=prevalen) tetapi intensitasnya rendah
Ø
prevalensi
rendah (=terlokalisasi) tetapi intensitasnya tinggi
Ø
prevalensi
rendah (=terlokalisasi) dan intensitasnya rendah.
Disperse adalah sebaran individu intra-populasi. Penyebaran secara teratur (regular dispersion) dengan
individu–individu yang kurang lebih berjarak sama satu dengan yang lain. Penyebaran
acak (random dispersion) terjadi apabila faktor
lingkunganya sangat seragam untuk
seluruh daerah dimana populasi berada, selain itu tidak ada sifat–sifat untuk
berkelompok dari
organisme tersebut. Penyebaran
secara merata, penyebaran
seacam ini terjadi apabila ada persaingan
yang kuat diantara individu–individu dalam populasi tersebut (Lestari,
2001).
Fekunditas
secara umum berarti kemampuan untuk bereproduksi. Dalamn biologi, fekunditas
adalah laju reproduksi aktual suatu organisme atau populasi yang diukur
berdasarkan jumlah gamet, biji, ataupun
propagula aseksual. Dalam bidang demografi, fekunditas
adalah kapasitas reproduksi potensial suatu individu ataupun populasi. Fekunditas
berada di bawah kontrol gametik maupun
lingkungan dan merupakan ukuran utama kebugaran biologi suatu spesies
(Anonymous.2013)
Kelulushidupan
merupakan peluang hidup dalam suatu saat tertentu. Kelulushidupan dipengaruhi
oleh faktor biotik dan biotik. Faktor biotik yang mempengaruhi yaitu
kompetitor, parasit, umur, predasi, kepadatan populasi, kemampuan adaptasi dari
hewan dan penanganan manusia. Faktor abiotik yang berpengaruh antara lain yaitu
sifat fisika dan sifat kimia dari suatu lingkungan (Effendi, M.S. 1979). Menurut
Stickey (1979), prosentase kelulushidupan dipengaruhi oleh faktor abiotik
seperti kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan, penanganan manusia,
jumlah populasi, kompetitor, penyakit, umur serta ada atau tidaknya predator.
Dilihat dari
pengertian masing-masing, manfaat pemanfaatan
konsep kelimpahan, intensitas dan prevalensi, disperse, fekunditas, dan
kelulushidupan sangat penting dalam penentuan hewan langka. Apabila kelimpahan
populasi suatu spesies hewan rendah, maka jumlah individu populasi suatu spesies
hewan rendah. Kelimpahan populasi suatu spesies mengandung dua aspek yang
berbeda, yaitu aspek intensitas dan aspek prevalensi. Spesies
yang terlokalisasi dan intensitasnya rendah dikategorikan sebagai spesies
langka. Adakalanya spesies yang intensitasnya tinggi namun prevalensinya rendah
pun dimasukkan dalam kategori tersebut. Kategorisasi
status spesies dengan memperhitungkan dua aspek tersebut sangat penting
terutama dalam menentukan urutan prioritas perhatian dan untuk melakukan upaya-upaya
kelestarian spesies hewan langka yang terancam punah. Prevalensi mempengaruhi disperse, apabila prevalensi rendah maka dispersi
juga rendah
Fekunditas juga merupakan hal yang sangat penting dalam
penentuan hewan langka. Apabila fekunditas rendah, maka semakin lama waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan reproduksi dan sedikit jumlah anak yang dihasilkan
oleh spesies hewan tersebut. Hal itu menandakan bahwa jumlah hewan tersebut
sangat jarang sekali untuk bertambah. Sehingga apabila suatu spesies hewan
memiliki fekunditas yang tinggi, maka jumlahnya akan sering bertambah karena
hewan tersebut mampu bereproduksi dalam waktu yang relatif singkat dengan
banyak jumlah anak yang dihasilkan.
Kelulushidupan sangat mempengaruhi penentuan hewan langka
karena apabila suatu spesies hewan tidak bisa bertahan hidup dalam suatu
keadaan tertentu baik yang dipengaruhi oleh faktor biotik atau abiotik, maka
jumlah spesies hewan tersebut akan berkurang atau bahkan punah.
3. Parasitisme
adalah hubungan antara dua individu, yaitu antara parasit yang memperoleh
keuntungan dan hospes yang dirugikan. Parasitisme tersebut terutama adalah
mengenai koaxi dalam makanan, dan juga perlindungan parasit oleh inangnya.
Suatu parasit tidak akan membunuh inangnya dengan segera, sebelum dapat
menyelesaikan daur reproduksinya. Bila parasit segera membunuh inangnya segera
setelah infeksi, maka parasit tidak bisa bereproduksi dan akan punah.
Keseimbangan antara hospes dan parasit akan terganggu jika hospes tersebut
menghasilkan antibodi atau bahan lain yang dapat
mengganggu pertumbuhan parasit.
Parasitoidisme
adalah sekelompok insekta yang dikelompokkan
dengan dasar perilaku bertelur betina dewasa dan pola perkembangan larva
selanjutnya. Terutama untuk insekta dari ordo Hymenoptera,
dan juga meliputi banyak Diptera. Mereka hidup bebas pada waktu dewasa, tetapi
betinanya bertelur di dalam, pada atau dekat insekta lain. Larva parasitoid berkembang di dalam (atau jarang
pada) individu inang yang masih tingkat pre-dewasa. Pada awalnya hanya sedikit
kerusakan yang tampak ditimbulkan terhadap inangnya, tetapi akhirnya hampir
dapat mengkonsumsi seluruh inangnya dan dengan demikian makan dapat membunuh
inang tersebut sebelum atau sesudah stadium kepompong (pupa). Jadi parasitoid
dewasa, bukan inang dewasa yang akan muncul dari kepompong. Sering hanya satu
parasitoid yang berkembang dari tiap inang, tetapi pada beberapa kejadian
beberapa individu hidup bersama dalam satu inang. Jelasnya parasitoid hidup
bersama akrab dengan individu inang tunggal (seperti pada parasit), mereka
tidak menyebabkan kematian segera atas inang (seperti pada parasit), mereka
tidak menyebabkan kematian segera atas inang (seperti parasit dan juga “Grazers”), tetapi juga dapat
menyebabkan kematian (Kurniasih,R.2011).
Pengendalian
hayati (biological control) adalah taktik pengendalian hama yang melibatkan
manipulasi musuh alami hama yang menguntungkan untuk memperoleh pengurangan
jumlah populasi dan status hama di lapangan. Biological
control berbeda dengan natural control, natural control dalam prakteknya
melibatkan agen lain selain musuh alami, misalnya cuaca atau makanan. Beberapa
author mengungkapkan bahwa biological control dalam arti luas termasuk semua
metode yang melibatkan organisme hidup sebagai
bagian dari taktik pengendalian, seperti penggunaan inang yang resisten,
pelepasan serangga steril, atau manipulasi genetik.
Organisme dalam
aktivitas hidupnya selalu berinteraksi dengan organisme lainnya dalam suatu
keterkaitan dan ketergantungan yang kompleks. Interaksi antar organisme
tersebut dapat bersifat antagonistik, kompetitif atau simbiotik. Sifat
antagonistik ini dapat dilihat pada musuh alami yang merupakan agen hayati
dalam pengendalian hama. Musuh alami memiliki peranan dalam pengaturan dan
pengendalian populasi hama, sebagai faktor yang bekerjanya tergantung kepada
kepadatan, dalam kisaran tertentu musuh alami dapat mempertahankan populasi
hama di sekitar aras keseimbangan umum. Setiap spesies
serangga hama sebagai bagian dari komplekskomunitas dapat diserang oleh
serangga lain atau oleh patogen penyebab penyakit pada serangga. Ditinjau dari
segi fungsinya musuh alami dapat dikelompokan menjadi predator, parasitoid dan
patogen.
Teori biological control pada dasarnya tidak berbeda dengan
prinsip–prinsip ekologi dan dinamika populasi. Seperti yang didiskusikan
sebelumnya, banyak factor lingkungan yang mengatur kepadatan populasi, juga
batas–batas fluktuasi serangga. Hal ini termasuk density–independent dan perfectly
and imperfectly density dependent factor.
Pada konteks pengendalian biologi, telah terdapat
pengaturan populasi hama dan hubungan serangga dengan musuh alaminya bersifat imperfectly density dependent factor
(ada factor–factor yang tidak bebas, kadang–kadang membatasi jumlah individu
dalam populasi contohnya parasitoid atau predator mempunyai luasan tertentu
untuk mengatur populasi mangsa). Tujuan dari biological control : salah satunya
adalah untuk mengintroduksi musuh alami atau memanipulasi jumlah musuh alami
yang ada yang sehingga menyebabkan terjadinya fluktuasi kepadatan hama sampai
dibawah ambang luka ekonomi.
Goal dari program biological control ini adalah terciptanya
suatu self sustaining sytem (sistem
pertahanan diri). Sebagai contoh, musuh alami yang diintroduksikan ke dalam
suatu area dengan harapan akan stabil pada area tersebut, Karena jumlah hama
berfluktuasi dibawah ambang luka ekonomi (EIL), dan dilanjutkan pada penurunan
kepadatan populasi tanpa adanya manipulasi lebih jauh. Tentu saja, dengan
menerapkan sistem ini tidak mengeliminasi keseluruhan jumlah populasi hama yang
ada di lapangan karena jika menghabiskan semua populasi hama, maka akan memutus
ketersediaan makanan bagi musuh alami.
Mekanisme dari self
sustaining system, secara teori, berdasarkan pada ketersediaan makanan yang
ada dan kemamampuan reproduksi Dari musuh alami. Dalam hal ini, peningkatan
populasi hama yang ada di area berarti ketersediaan makanan bagi musuh alami
juga semakin banyak, sehingga populasi musuh alami juga mengalami peningkatan
(Ekspansi). Ketika ekpansi terjadi, peningkatan proporsi dari populasi hama
akan mengalami gangguan, sehingga mengurangi juga ketersediaan pakan bagi musuh
alami. Kekurangan pakan ini akan berakibat pada penurunan tingkat reproduksi,
menyebabkan penurunan populasi musuh alami. Ketika jumlah musuh alami menurun,
maka tekanan terhadap populasi hama semakin menurun, sehingga jumlah hama di
lapangan akan meningkat, ketika jumlah hama di lapangan meningkat, makan
populasi musuh alami juga akan meningkat. (not
so imperfectly dependable or smoothly operating). Respon yang terjadi
antara hama dan musuh alami, adalah respon numeric,
dimana peningkatan jumlah populasi hama di lapangan juga meningkatkan jumlah populasi
musuh alami di lapangan (Hartoyo,D.2012).
4. Nilai sikap dan karakter yang
harus ditumbuhkan pada siswa ketika belajar konsep-konsep dalam ekologi hewan
adalah menerapkan pada siswa tentang pentingnya bioetika dalam mempelajari
konsep-konsep dalam ekologi hewan. Biofilia adalah ikatan atau kesenangan
manusia terhadap alam dan spesies lainnya sebagai bawaan alami manusia. Secara
lebih luas Kellert menguraikan definisi biofilia sebagai “kecenderungan manusia
menyukai alam sebagai bawaan alamiah manusia dalam berafiliasi melalui proses
yang terjadi dengan alam seperti ketergantungan dengan kehidupan dan benda yang
menjadi sumber kehidupan (misalnya, ekosistem) yang semuanya itu merupakan
lingkungan yang asli dan bukan buatan manusia. Kemudian Kellert mendefinisikan
sembilan persepsi biofilia, di antaranya sebagai berikut:
Ø
Estetika, mereka yang
cenderung dengan daya tarik fisik dan keindahan alam.
Ø
Dominionistis, hasrat menguasai dan mengontrol alam.
Ø
Humanistis, keterkaitan emosional dengan alam.
Ø
Naturalistik, eksplorasi dan menemukan sesuatu di alam.
Ø
Negatif, takut dan
menjauh dari alam.
Ø
Moralitis, hubungan moral dan spiritual dengan alam.
Ø
Saintifik, sifat ingin mengetahui dan memahami tentang alam.
Ø
Simbolistik, alam sebagai sumber komunikasi dan imajinasi.
Ø
Ulititarian, alam sebagai sumber untuk mendapatkan fisik dan materi.
Pendidikan
mempunyai peran yang sangat strategis dalam membentuk karakter bangsa dan
sarana untuk menularkan pengetahuan, presepsi dan budaya manusia Biofilia
berfungsi untuk mengkaji pertalian antara manusia dan alam. Kecenderungan
terhadap biofilia ini didasari atas adanya pendapat bahwa kesehatan mental dan
fisik manusia sangat tergantung pada sistem alami dan proses alam.
Ketergantungan ini merefleksikan fakta akan keterlibatan manusia dalam
merespons alam dan cara mereka beradaptasi untuk menyesuaikan diri dan
menyintaskan keberlanjutan hidup mereka yang bergantung pada alam. Selain itu,
biofilia dimaksudkan untuk dapat memahami bagaimana sesungguhnya pemahaman
manusia terhadap alam, sehingga diketahui bagaimana mengatur manusia. Aldo
Leopold mengatakan “Dalam masalah (kehidupan liar) sesungguhnya bukan bagaimana
kita menangani (satwa)... tetapi akar masalah sesungguhnya adalah... mengelola
manusia. Manajemen kehidupan liar adalah relatif mudah; namun manajemen manusia
adalah sulit.
Dalam
perhitungan untuk sebuah eksploitasi terhadap sumber daya alam (SDA),
umpamanya, manusia pasti dihadapkan pada keadaan bahwa mereka harus
mengorbankan banyak spesies dan habitat mereka. Perdebatan terjadi manakala
sumber daya alam tersebut merupakan sisa warisan alam yang semestinya tetap
dipertahankan sebagai penyangga ekosistem. Kalangan biosentrisme menilai bahwa
alam dan seluruh isinya mempunyai harkat dan nilai atas dirinya sendiri, dan
sebab itu selain manusia mempunyai tanggung jawab moral terhadap sesama
manusia, namun mereka juga bertanggung jawab moral terhadap semua mahluk hidup.
Studi tentang biofilia ini dilakukan dalam upaya memetakan keadaan dasar
manusia yang merupakan sifat bawaan, antara kebutuhan manusia dan
kecenderungannya untuk berhubungan dengan sesuatu yang hidup dan bersimpati
pada kehidupan ataupun proses yang mendukung kehidupan (Mangunjaya, F.M. 2008).
Selain biofilia, nilai
sikap dan karakter yang harus ditumbuhkan pada siswa ketika belajar
konsep-konsep dalam ekologi hewan adalah bioetika. Menurut Potter, bioetika merupakan suatu
disiplin keilmuan yang baru, yang merupakan kombinasi antara pengetahuan hayati
(biologi) dengan pengetahuan sistem nilai manusia. Definisi Potter ini
sekaligus memberikan pula tujuan bioetika, yaitu membangun jembatan antara ilmu
pengetahuan dan humaniora (kemanusiaan), membantu “kemanusiaan” untuk tetap
selamat dan lestari, serta menyempurnakan dunia beradap. Bioetika mencakup
solidaritas terhadap biosfer, sehingga menghasilkan etika global, suatu
disiplin yang mewakili hubungan antara biologi, kedokteran, ekologi, dan
nilai-nilai kemanusiaan dalam rangka mencapai kelangsungan hidup baik manusia
dan spesies hewan lainnya.
Bioetika
dapat dilukiskan sebagai ilmu pengetahuan untuk mempertahankan hidup dan
terpusat pada penggunaan ilmu-ilmu biologis untuk memperbaiki mutu hidup. Dalam
arti yang lebih luas, bioetika adalah penerapan etika dalam ilmu-ilmu biologis,
obat, pemeliharaan kesehatan dan bidang-bidang terkait. Sebagai sebuah etika
rasional, bioetika bertitik tolak dari analisis tentang data-data ilmiah,
biologis, dan medis. Keabsahan campur tangan manusia dikaji. Nilai
transendental manusia disoroti dalam kaitan dengan sang pencipta sebagai
pemegang nilai mutlak. Terkadang, istilah bioetika juga digunakan untuk
mengganti istilah etika medis, yang mencakup masalah etis tentang ilmu-ilmu
biologis seperti penyelidikan tentang hewan, serta usaha-usaha manipulasi
spesies-spesies bentukan genetik non manusiawi. Acap kali, penggunaan istilah
bioetika dan etika medis saling dipertukarkan.
Pemanfaatan
hewan laboratorium untuk penelitian, wajib memegang prinsip 3R (Replaced, Reduced and Refinement). Arti
dari prinsip ini adalah hewan yang digunakan harus yang memiliki tingkat
evolusi yang paling rendah, yang sesuai untuk mencapai tujuan penelitian dengan
memanfaatkan hewan dalam jumlah sekecil mungkin tetapi tetap memberikan hasil
yang sahih, serta menggunakan teknik yang meminimalisasi nyeri maupun stres.
Selain itu,
prinsip bioetika yang harus dipegang teguh adalah memberikan 5F atau
5 freedom. Kelima kebebasan tersebut adalah kebebasan dari rasa lapar dan
haus (freedom from hunger and thirst),
kebebasan dari ketidaknyamanan (freedom
from discomfort), kebebasan dari rasa sakit dan penyakit (freedom from pain, injury and disease),
kebebasan dari ketakutan dan stres jangka panjang (freedom from fear and distress), dan kebebasan dalam
mengekspresikan tingkah laku alaminya (freedom
to express natural behavior).
Kedua prinsip
utama bioetika diatas dapat dilaksanakan dan dipantau oleh suatu komisi
pengawasan dan penggunaan hewan laboratorium pada institusi yang memanfaatkan
hewan laboratorium baik untuk penelitian maupun akademik.
Pada sesi
diskusi Prof. Dr. Djokowoerjo Sastradipradja, anggota komisi IPD
AIPI mengemukakan dalam sumbang pendapat tertulis yang tidak
dibacakan, yaitu pentingnya bioetika perlakuan terhadap hewan coba khususnya
dan satwa untuk kegunaan lainnya pada umumnya oleh masyarakat. Pada saat ini
nyatanya belum menjadi concern masyarakat umum karena anggapan hewan
lebih inferior dari manusia. Bioetika bermula dari minat hubungan antar
manusia, tetapi makin lama meluas hingga mencakup bidang-bidang lain,
diantaranya dengan hewan. Perlakuan terhadap organisme hidup dan lingkungan
berdasarkan etika moral yang luhur itu berkembang pada diri manusia yang semula
berawal dari keinginan egoistik menghindari hukuman yang mengancam pribadinya
menjadi keprihatinan akan kepastian berfungsi baik
kelompok dan kemudian aplikasinya sebagai azas-azas etika
moral.
Pertimbangan
hubungan dengan hewan ialah bahwa: hewan juga punya setiency yaitu aspek nociseptif
mengindera sakit, tetapi juga suffering (menderita
sakit) yang
kwalitas emosinya
subjektif. Ungkapan perikemanusiaannya adalah: Hak untuk disakiti adalah milik
semua makhluk hewan; ia bukan milik eksklusif manusia. Dengan menghayati rasa
iba/sayang/hormat kepada kehidupan akan meningkatkan moralitas, artinya moral
meningkat kalau saja manusa berhenti mencelakakan sesama dan membuang naluri-naluri primitif. Etika hendaknya tidak saja diartikan
sebagai etiket tata perilaku
manusia semata melainkan terlebih-lebih sebagai komitmen penghayatannya (Soegeng.2012).
5. Larva
Trichoptera merupakan salah satu penyusun komponen terbesar dari komunitas
bentik makroavertebrata pada ekosistem akuatik lotik. Beberapa alasan penting
tentang keuntungan penggunaan hewan tersebut sebagai bioindikator lingkungan
antara lain: 1)
Distribusi yang luas dari organisme tersebut dengan berbagai macam tipe habitat
mulai dari rembesan air, mata air, sungai, danau, hingga laut,
2). Kelimpahan yang relatif besar di ekosistem akuatik, 3) Respon terhadap
kualitas lingkungan dapat ditunjukkan dengan perubahan morfologi, bioakumulasi,
dan perilaku,
4) Diversitas jenisnya relatif tinggi. Lebih dari 1350 jenis yang telah diketahui
di daerah Amerika utara, yang melakukan
penelitian di Sulawesi Utara menemukan 89 jenis hidup di Sulawesi, 5) Siklus
hidupnya relatif panjang, umumnya bersifat univoltine (satu generasi
dalam satu tahun) dan sebagian besar memiliki 5 instar tahap perkembangan, 6) Fungsinya dalam rantai makanan
sebagai dekomposer bahan organik dan sumber makanan bagi burung dan ikan,
7) Ukurannya relatif besar yaitu 1- 3 cm dengan berat kering 30-100 mg, 8)
Tubuh hewan yang relatif keras sehingga memudahkan dalam melihat adanya
abnormalitas morfologi dibandingkan dengan larva Chironomid. Hewan
tersebut umumnya banyak dijumpai pada perairan yang memiliki permukaan batuan
dari dasar sungai atau danau. Sebagian besar larva Trichoptera lebih menyukai
hidup pada tipe perairan dangkal (5-10 cm) dengan air yang mengalir di atas
permukaan batuan dan sedikit jenis yang ditemukan pada substrat halus di bagian
air yang dalam.
Komunitas larva
Trichoptera sebagai prediksi gangguan pada ekosistem akuatik
Pengaruh
fisik berupa gangguan pada habitat terhadap komunitas Trichoptera telah
dipelajari secara mendalam oleh CAMARGO (1991) dan TAKAO et al. (2006).
TAKAO et al. (2006) menyebutkan bahwa kecepatan aliran dan fluktuasi
dari debit sungai merupakan pengendali utama dari organisasi biologi yang ada
dalam sistem lotik. Tingginya arus sungai dapat menyebabkan perubahan pada
populasi larva Trichoptera dengan cara menghanyutkan semua individu atau
memindahkan material sedimen yang dapat menyebabkan kematian.
CHAKONA
et al. (2009) menggunakan komunitas larva Trichoptera guna mendeteksi
gangguan ekosistem sungai akibat deforestasi dan aktivitas pertanian di dua
daerah tangkapan yaitu Nyaodza-Gachegache dan Chimanimani (Zimbabwe). Hasil
penelitian tersebut menunjukkan adanya perubahan dalam komposisi taksa akibat
perubahan pada tata guna lahan dan geomorfologi. Marga Anisocentropus,
Dyschimus, Lepidostoma, Leptocerina, Athripsodes, Parasetodes, Aethaloptera,
Hydropsyche, dan Polymorphanisus keberadaannya terbatas pada daerah
hutan yang belum mengalami gangguan dengan karakteristik rendahnya temperatur,
turbiditas, konsentrasi silt, dan tingginya elevasi, oksigen terlarut,
dan transparansi. Sedangkan kelimpahan larva Hydroptila cenderung
menyukai habitat yang sudah mengalami gangguan khususnya di daerah pertanian.
Hilangnya marga dari larva Trichoptera yang tergolong sensitif di daerah yang
telah mengalami deforestasi dan pertanian kemungkinan besar disebabkan oleh
berkurangnya material tanaman yang masuk pada sungai sebagai bahan makanan bagi
larva tersebut maupun disebabkan kerusakan habitat akibat sedimentasi.
\Penelitian
yang dilakukan CLEMENTS (1994) di bagian hulu Sungai Arkansas, Colorado
menunjukkan hasil yang berkebalikan dengan STUIJFZAND et al. (1999).
Sungai yang mendapat masukan dari air asam tambang dalam kategori tercemar
sedang hingga berat didominasi oleh larva Chironomid Othocladiinae dan
Trichoptera. BEASLEY & KNEALE (2004) menyebutkan larva Trichoptera suku
Hydropsychidae relatif toleran terhadap kontaminasi logam berat Cu, Cd, dan Pb
di perairan. Biasanya meningkatnya dominansi bentos pada beberapa jenis suku
Chironomidae dan Hydropsychidae merupakan sinyal awal dari meningkatnya
kontaminasi logam (CANFIELD et al.1994; LUOMA & CARTER 1991; WINNER et
al. 1980). Beberapa larva Trichoptera mampu hidup pada kondisi lingkungan
yang ekstrim seperti Helicopsyche borealis (Hagen). Hewan tersebut mampu
hidup pada sumber air panas yang konsentrasi sulfida tinggi dan sungai-sungai
yang telah menerima masukan limbah domestik. Hewan tersebut dilaporkan mampu
mentolerir adanya kebocoran dari tangki bensin yang masuk ke dalam sungai yang
mengakibatkan sebagian besar fauna makrobentik yang ada telah mengalami drifting
(penghanyutan) atau kematian (MACKAY & WIGGINS 1979).
Respon subletal
larva Trichoptera untuk mendeteksi kontaminasi polutan toksik.
Larva
Trichoptera juga sering digunakan untuk mengkaji pengaruh subletal dari
pemaparan bahan polutan toksik di perairan. Sebagai contoh adanya penyimpangan
dari hewan tersebut dalam membuat pola jaring ketika didedahkan dengan
senyawa logam berat: kadmium, tembaga (TESSIER et al. 2000a), pestisida:
organofosfat malation (TESSIER et al. 2000b), fenvalerate (RASCH et
al.1999), DDT, dieldrin, fenethcarb, dan buangan limbah pabrik kertas yang
mengandung: 4,5,6-trikloroguaiacol, 2,4-Diklorofenol (2,4-DCP) (TESSIER et
al. 2000c; RASCH et al. 1999). Pola jaring pada kondisi normal
terlihat helaian jaring yang saling bertemu membentuk kotak persegi panjang.
TESSIER et al. (2000) menjelaskan bentuk pola jaring dapat dibagi
menjadi 2 yaitu A dan B. Pola A dimulai pada helai jaring bagian pojok atas
kiri atau kanan dan menuju ke arah bawah menbentuk pola diagonal ke pusat
jaring. Pola B dimulai dari pusat penggabungan dan bertemu dengan pola lainnya
menuju bagian pinggir bawah dari jaring. Gambar 1 merupakan perubahan dari pola
A ke pola B membentuk semacam garis tengah berupa pola intan. Jaring yang ada
di bagian kiri dan kanan secara jelas dipisahkan oleh garis tengah tersebut.
Hasil
pemaparan kronis dengan menggunakan malation pada konsentasi 0,01; 0,05; 0,1;
0,5 dan 1,0 μg/1 menunjukkan adanya kejanggalan pada bentuk pola jaring dari
larva tersebut. Kejanggalan pertama muncul ketika adanya distorsi dari helai
jaring di bagian garis tengah yang normalnya berbentuk intan dan adanya
tambahan helai (extra strands) di bagian garis tengah tersebut atau yang
disebut sebagai “midline anomaly”. Kejanggalan ke dua diamati ketika
adanya perubahan yang signifikan dari simetri jaring (Gambar 2). Kedua
kejanggalan tersebut berkorelasi kuat dengan aksi dari malation yang menghambat
enzim asetilkolinesterase (AchE). Simetri jaring semakin menurun pada
konsentrasi 0,5 dan 1 μg/1 malation (TESSIER et al. 2000b).
TESSIER et
al. (2000c) yang mendedahkan larva Hydropsyche slossonae dengan
toksikan 2,4-DCP menunjukkan pengaruh yang signifikan pada abnormalitas bentuk
jaring ketika konsentrasi larutan mulai dari 1, 10, 25 dan 50 μg/l. Tipe
kecacatan terdiri dari dua bentuk yaitu “midline anomaly” dan “chaotic
net”(Gambar 3). “ Chaotic net” merupakan bentuk dari struktur jaring
yang tidak beraturan. Frekwensi tipe abnormalitas “chaotic net”
berkorelasi kuat dengan reduksi konsentrasi ATP pada larva dan pengaruh uncoupling
dari 2,4-DCP pada proses fosforilasi oksidatif. Hal yang sama juga diamati
adanya kejanggalan pada pola jaring larva Hydropsyche slossonae ketika
didedahkan dengan logam berat kadmium. Dua kejanggalan dalam pola jaring
diamati ketika didedahkan pada pemaparan kronis logam kadmium pada konsentrasi
0,37; 1,2; 11,6; 21,4 dan 43,3 μg/1 . Kejanggalan pola pada jaring Trichoptera
yang didedahkan dengan kadmium berupa “midline anomaly” dan distorsi
dari struktur rectilinier dari helai jaring ketika adanya penggabungan atau
penambahan helai jaring (Gambar 3) atau yang disebut dengan “crossover'
anomaly” (TESSIER et al. 2000a). RASCH et al. (1999)
mendedahkan larva Hydropsyche siltalai dengan konsentrasi fenvalerate
0,5 μg/l menunjukkan penurunan simetri dan peningkatan ukuran pori-pori jaring.
Beratnya polusi
di ekosistem air tawar telah diketahui dapat meningkatkan insiden abnormalitas
morfologi hewan air tawar. Abnormalitas morfologi dari serangga akuatik telah
lama digunakan dalam studi yang berkaitan dengan pengaruh polutan toksik di
ekosistem akuatik (WIEDERHOLM 1984; WARWICK 1985; DICKMAN et al. 1992;
BISTHOVEN et al. 1998). Respon subletal berupa kecacatan insang dan anal
papilae dari larva Trichoptera telah dipelajari secara mendalam guna
pengembangan indikator biologi perairan khususnya dalam bidang biomarker.
Abnormalitas pada insang trachea, organ regulasi ion, dan anal papilae dapat
menunjukkan adanya gangguan pada respirasi dan fungsi pengaturan ion pada
individu (VUORI & KUKKONEN 1996). Adanya perubahan morfologi dari insang
larva Hydropsychidae berupa penghitaman warna, reduksi dari anal papilae dan
insang trachea ketika larva tersebut didedahkan dengan menggunakan logam berat:
kadmium (VUORI & KUKKONEN 2002), tembaga (PETERSEN dalam VUORI &
KUKKONEN 2002 ), dan aluminium (VUORI & KUKKONEN 1996), khromium (LESLIE et
al. 1999). Munculnya penghitaman warna dan kelainan pada insang ini umumnya
dijumpai pada larva instar terakhir atau yang lebih tua (VUORI & KUKKONEN
2002). CAMARGO (1991) mengamati adanya gangguan berupa penonjolan dan penghitaman
warna pada anal papilae dan insang trachea pada larva H.
pellucidula yang didedahkan dengan air yang terklorinasi. Jumlah
cabang-cabang pada insang trachea mengalami reduksi hingga menjadi potongan
tunggal yang
pendek
Kondisi
yang sama juga diamati di Sungai Kyrönjoki (Findland) yang sudah terpolusi
menunjukkan banyaknya abnormalitas dan penghitaman insang trachea pada larva Cheumatopsyche
lepida dan Hydropsyche pellucidula. Sungai tersebut terpolusi oleh
buangan yang berasal dari pabrik pulp and paper dan industri kimia
lainnya yang sebagian besar mengandung produk klorofenol (misalnya penta-,
tetra-, dan tri-klorofenol), poliklorinated dibenzo-p dioxin dan furan
(PCDD/Fs), poliklorinated difenileter (PCDEs), dan logam berat aluminium (VUORI
& KUKKONEN 1996). LESLIE et al. (1999) yang melakukan penelitian di
Sungai Chusoyava Rusia mengkategorikan kerusakan insang pada trachea Hydropsyche
pellucidula akibat pendedahan logam khromium sebagai berikut: 0 = tidak ada
kerusakan/ normal, 10 = kerusakan marginal (≤ 5ujung insang bewarna hitam), 20
= kerusakan kecil (> 5 yang bewarna hitam), 30 = kerusakan sedang (> 25
yang hitam), 40 = kerusakan ekstrim (semua bewarna hitam). Kerusakan insang di
masing-masing lokasi penelitian ditentukan dengan cara mencari nilai rerata
skornya. Bentuk dan warna insang yang pucat dikategorikan normal dapat dilihat
pada Gambar 4A. Bentuk penghitaman (Gambar 4B dan C) dan abnormalitas pada
larva Hydropsyche siltalai di bagian insang trachea dapat dilihat pada
Gambar 4D.
Studi biomarker
dengan menggunakan pendekatan biokimia telah digunakan sebagai alat untuk
mengidentifikasi perubahan pada level subseluler akibat induksi bahan polutan
sebelum pengaruh yang lebih besar muncul pada tingkat organisasi biologi yang
lebih tinggi. Enzim biomarker yang sering digunakan dalam mendeteksi senyawa xenobiotic
di lingkungan adalah asetilkolinesterase (AchE) dan glutatione-S-tranferase
(GST). BERRA et al. (2006) mengkaji pengaruh senyawa organofosfat
fenitrothion pada enzim dan hasil metabolitnya pada larva Trchoptera Hydropsyche
pellucidula. Larva yang didedahkan dengan kosentrasi subletal 0,1 dan 1
mg/l fenitrothion dapat menghambat aktivitas kerja enzim GST dan esterase
termasuk asetilkolinesterase, p-nitrofenilacetat esterase, α-naftilacetat
esterase. Analisis hasil metabolit dari larva yang didedahkan fenitrothion
menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi malate dan alanine. Hal ini mungkin
berkaitan dengan peningkatan mobilisasi protein akibat peningkatan aktivitas
enzim transaminase.
Studi
Bioakumulasi pada Larva Trichoptera untuk
Prediksi Bioavailability Polutan di Ekosistem Akuatik.
Pengaruh
polutan di ekosistem akuatik pada biota dapat diprediksi lebih akurat dari
akumulasi polutan tersebut dalam tubuh organisme dibandingkan dengan yang
terkonsentrasi di air dan sedimen (VUORI & KUKKONEN 1996; SOLA et al. 2004).
Larva serangga akuatik menduduki hampir seluruh trofik level dan
mempunyai berbagai macam feeding habit. Metabolisme yang cepat dan
siklus hidup yang bervariasi, dan kemampuan dari hewan tersebut untuk
mencerminkan nasib dan pengaruh kimia, maka hewan tersebut sangat cocok digunakan
dalam memprediksi kualitas lingkungan dengan akurasi yang relatif tinggi (VUORI
& KUKKONEN 1996).
Akumulasi
polutan pada tubuh larva Trichoptera telah digunakan untuk memprediksi bioavailability
polutan dalam air dan sedimen. SOLA & PRAT (2006) menggunakan larva Hydropsyche
untuk mengkaji akumulasi dari kontaminasi logam dan metaloid di
Sungai Guardimar (Spanyol) yang terpolusi oleh limbah hasil penambangan. Hasil
dari penelitian tersebut menunjukkan akumulasi logam dan metaloid pada
hewan tersebut berkorelasi kuat dengan konsentrasi polutan tersebut dalam air,
sedimen, dan parameter komunitas bentik lainnya seperti: kekayaan taksa,
kelimpahan, taksa EPT (Ephemeroptera, Plecoptera, dan Trichoptera) dan taksa
OCH (Odonata, Coleoptera dan Heteroptera). Kemampuan larva Hydropsyche untuk
mengakumulasi logam Cu dan Cd relatif baik dan dapat mencerminkan adanya
peningkatan 3 hingga 35 kali lipat dibandingkan dengan yang hidup di reference
site (SOLA et al. 2004). CAIN et al. 2000 yang mengamati
akumulasi logam Cd, Cu, dan Pb di H. californica bersifat bioavailable
akibat air asam tambang, sedangkan logam Hg dan Zn tidak konsisten
menunjukkan adanya peningkatan logam di tubuh hewan tersebut.
Respon
perilaku larva Trichoptera terhadap sedimentasi.
Transport sedimen
yang berukuran halus (tersuspensi maupun terendapkan) merupakan penyebab
dominan dari perusakan habitat dan ekologi di ekosistem akuatik (IRELAND 2007).
Keberadaan sedimen halus ini telah diketahui dapat memberikan dampak negatif
bagi kelangsungan hidup dan ketersediaan habitat untuk ikan maupun fauna
makrobentik. Diversitas dan kepadatan fauna makrobentik umumnya lebih tinggi
pada ukuran substrat yang didominasi oleh kerakal (cobble) dan kerikil,
sedangkan pasir dan lumpur mempunyai diveristas dan kepadatan lebih rendah
(KALLER & HARTMAN 2004). HABDIJA et al. (2002) menunjukkan batuan
boulder dan kerakal yang ditutupi lumut mempunyai biomassa yang lebih tinggi
(54% pada boulder dan 55,8% kerakal) dibandingkan dengan batuan tersebut
yang ditutupi oleh perifiton (9,9 % boulder dan 14,8% kerakal). Di tipe
perairan tergenang, biomassa total dari larva Trichoptera jauh berkurang (<
2,5%) pada substrat batuan.
Respon
perilaku dari larva Trichoptera terhadap sedimentasi telah dipelajari lebih
mendalam oleh RUNDE & HELLENTHAL (2000a), RUNDE & HELLENTHAL (2000b),
dan WOOD et al. (2001). RUNDE & HELLENTHAL (2000a) memaparkan larva Hydropsyche
sparna instar 4 dan 5 dengan beban sedimen 14,6 kg/m2 berupa substrat pasir
(diameter 126-2000 μm) dalam sebuah sungai buatan. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan larva Trichoptera mengalami tiga respon yaitu penghanyutan, mati,
dan terkubur dalam kondisi hidup. Ketika larva masih dalam kondisi terkubur
hidup, larva tersebut masih tetap berjalan mundur di sedimen dan memperbesar
bagian kepala, dada, dan abdomennya agar masih tetap berada di bagian air overlying.
Respon penghanyutan terjadi ketika diameter partikel yang dominan di bawah 1000
μm, sedangkan partikel yang lebih besar akan menginduksi perilaku penguburan
dalam kondisi hidup. Laju mortalitas dari percobaan tersebut berkisar 0 - 4,8%.
WOOD et al. (2001) yang mengubur larva Melampophylax mucoreus dengan
ketebalan sedimen 5 hingga 10 mm memperoleh rata-rata dari individu (63,8%)
dapat menggali sendiri dari sedimen dengan lamanya waktu yang dibutuhkan ± 15
menit untuk meloloskan diri. Secara umum larva yang dikubur dengan tipe sedimen
yang lebih halus dan tebalnya sedimen akan meningkatkan waktu untuk meloloskan
diri.
RUNDE &
HELLENTHAL (2000b) memaparkan partikel tersuspensi dengan diameter yang lebih
halus 0,4-500μm dan konsentrasi 667-6000mg/l selama 24 jam pada larva Hydropsyche
. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan respon penghanyutan dan
kematian tidak terjadi selama percobaan berlangsung. Ada 4 perilaku dari hewan
tersebut berkaitan dengan penanganannya terhadap jaring yang dibuatnya.
Perilaku pertama yaitu membersihkan jaring dari partikel dan membiarkan utuh.
Perilaku kedua hingga keempat lainnya melibatkan modifikasi dari helai jaring
yang berfungsi untuk menyaring yaitu: pemisahan jaring di salah satu sisi,
membuat sebuah lubang di bagian tengah jaring, dan menghilangkan jaring secara
total (Sudarso, Y.2009).
6. Pentingnya mengetahui relung
bagi aktivitas konservasi adalah dengan mengetahui relung hewan yang akan
dikonservasi, maka akan mempermudah mengetahui kebutuhan
interaksi untuk mendefinisikan kondisi dan sumber daya alam yang dibutuhkan
oleh suatu individu atau suatu spesies untuk menjalankan kehidupannya. Sehingga
pada tempat konservasi dapat dimanipulasi sama seperti habitat aslinya
(Anonymous.2013).
Rusa Bawean
pertama kali diidentifikasi pada tahun 1845 sebagi Cervus Kuhlii. Bemmel
(Semiadi, 1999) menyebutkan tentang klasifikasi rusa Bawean adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Artiodactyla
Famili : Cervidae
Genus : Axis
Spesies : Axis
kuhlii.
Fisiologi
Diyakini bahwa
rusa Bawean tidak memiliki masa musim kawin yang tetap. Rusa
Bawean (Axis kuhlii) mempunyai masa kehamilan antara 225-230 hari dan
melahirkan satu anak tunggal (jarang terjadi kelahiran kembar). Dari hasil
penelitian masa kelahiran anak rusa Bawean adalah di bulan Februari hinnga
Juni, dengan masa perkawianan antara bulan Juli hingga November.
Perilaku Kawin
Musim kawin
terjadi di bukan Juli sampai November, pada saat musim kemarau sedang
berlangsung. Masa bunting 7-8 bulan dan diharapkan anak rusa akan lahir dimusim
hujan yaitu sekitar Feburuari sampai Juni. Pada saat ini tumbuh-tumbuhan
bertunas sehingga akan tersedia cukup makanan bagi anak dan induk yang
melahirkan.
Untuk memperebutkan betina didahului dengan perkelahian diantara pejantan-pejatan.
Bekas gosokan tanduk pada batang-batang pohon merupakan petunjuk bagi rusa
betina akan adanya sang jantan. Sedangkan rusa betina sendiri mengeluarkan
cairan dari celah-celah jarinya dengan mengandalkan penciumannya.
Perilaku Harian Di Hutan
Kegiatan hidup
rusa Bawean terutama berlangsung pada malam hari (nocturnal). Rusa bawean aktif
berkelana mulai pukul 17.00 sampai pukul 21.00 dan mulai menurunkan
aktifitasnya pada pukul 02.00 dini hari sampai pukul 05.00 pagi. Pada siang
hari rusa Bawean biasanya menghabiskan waktu untuk beristirahat (Alamendah.2009)
Jenis-Jenis Makanan Rusa Bawean
Nama lokal :
1. Daun
Anjhujhu
2. Tale Caceng
3. Daun Gundang
4. Daun Nangka
5. Daun
Kenyang-kenyang
6. Daun
Gheddhung
7. Rumput Gajah
8. Rumput
Ladang
9. Tale Atta
10. Daun
ampelas
11. Daun
lambese
12. Daun
andudur
13. Daun pelle
14. Daun ampere
15. Rumput
lending-ledingan
16. Daun
kangkung tajhin
17. Rumput
lapeddhung
18. Daun kacang
19. Buah nangka
20. Buah
gheddheng
21. Buah pellem
dan masih banyak jenis daun,rumput, dan buah-buahan lainnya (Anonymous.2009).
DAFTAR PUSTAKA
Dharmawan,A. dkk.2005, Ekologi Hewan.UM Pers.Malang
Effendi,
M. S. 1979. Metode Biologi Perikanan.
PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Lestari.2001.Disperse.http://www.lestari.blogspot.com. Diakses : 18 April 2013.
Mangunjaya,
Fachruddin M. 2008. Bertahan di Bumi, Gaya Hidup Menghadapi Perubahan
Iklim. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Prihatnawati,Y.2012. Aplikasi
Konsep Waktu – Suhu Pada Hewan Poikiloterm Dalam Pengendalian Hama Pertanian.
html.scribd.com/doc/.../Makalahku-Konsep-Waktu-Suhu. Diakses
: 14 April 2013
Soegeng.2012.Forum Diskusi Bioetika. http://www.aipi.or. Diakses : 14 April 2013
Stickey, R.R. 1979. Principle of Warm Water Aquaculture.
John Willey and Sons. New York
Sudarsono,Y.2009. Potensi
Larva Trichoptera Sebagai Bioindikator
Akuatik. Pusat
Penelitian Limnologi – LIPI. Oseanologi
dan Limnologi di Indonesia (2009) 35(2): 201-215.