Jumat, 19 April 2013

UTS Ekologi Hewan

SOAL

1.     Konsep waktu-suhu yang berlaku pada hewan  poikilotermik sangat berguna aplikasinya dalam pengendalian hama pertanian, khususnya dari golongan serangga. Jelaskan arti konsep waktu secara singkat, dan berikan contoh ulasannya terkait dengan kasus ulat bulu yang menyerbu tanaman mangga di Probolinggo Tahun 2010.

2.     Jelaskan pemanfaatan konsep kelimpahan, intensitas dan prevalensi, disperse, fekunditas, dan kelulushidupan dalam kaitannya dengan penetapan hewan langka!

3.      Jelaskan aplikasi konsep interaksi populasi, khususnya parasitisme dan parasitoidisme, dalam pengendalian biologis. Berikan contohnya!

4.   Nilai sikap dan karakter apa yang harus ditumbuhkan pada siswa ketika belajar konsep-konsep dalam ekologi hewan? Berikan contoh riilnya!

5.      Uraikan satu contoh pemanfaatan indikator hewan untuk monitoring kondisi lingkungan secara mendetail, mulai dari jenis, prinsip dan praktik pemanfaatannya!

6.     Apakah manfaat pengetahuan tentang relung bagi aktivitas konservasi? Berikan salah satu contoh hewan langka, lakukan kajian tentang relungnya. (dalam satu kelas, hewan yang dikaji tidak boleh sama)!



Jawab :

1.  Konsep waktu-suhu sangat penting artinya untuk memahami masalah pewaktuan dari kejadian-kejadian serta dinamika populasi hewan-hewan ektoterm. Dengan menggunakan konsep waktu-suhu, yang diwujudkan dalam bentuk jumlah hari-derajat, maka suatu fenomena akibat proses perkembangan seperti peledakan populasi misalnya dapat diramalkan kapan akan terjadi (Dharmawan, A.dkk.2005).
Untuk pertumbuhannya, hewan ektothermal (poikilterm) memerlukan kombinasi antara faktor waktu dan faktor suhu lingkungan. Hewan ektothermal (poikiloterm) tidak dapat tumbuh dan berkembang bila suhu lingkungannya dibawah batas suhu minimum kendatipun diberikan waktu yang cukup lama. Jadi suhu lingkungan menentukan suhu tubuh hewan poikiloterm. Bahkan suhu menajadi faktor pembatas bagi kehidupannya. Suhu tubuh menentukan kerja enzim-enzim yang membantu metabolisme di dalam tubuh. Karena itu dari sudut pandang ekologi, kepentingan suhu lingkungan bagi hewan-hewan ektoterm tidak hanya berkaitan dengan aktivitasnya saja tetapi juga mengenai pengaruhnya terhadap laju perkembangannya. Dalam suatu kisaran suhu tertentu, antara laju perkembangan dengan suhu lingkungan terdapat hubungan linier. Konsekuensinya ialah bahwa untuk hewan-hewan ektoterm lama waktu perkembangan akan berbeda-beda. Dengan perkataan lain, pernyataan berapa lamanya waktu perkembangan selalu perlu disertai dengan pernyataan pada suhu berapa berlangsungnya proses perkembangan itu. Karena pada hewan ektoterm (Poikiloterm), waktu (berlangsungnya proses perkembangan) merupakan fungsi dari suhu lingkungan, maka kombinasi waktu-suhu yang seringkali dinamakan waktu fisiologis itu mempunyai arti penting (Prihatnawati, Y. 2012).
Perubahan iklim terutama temperatur lingkungan ikut mempengaruhi populasi ulat bulu, karena temperatur yang meningkat dapat mempercepat siklus hidup ulat itu. Populasi ulat bulu biasanya akan mengalami peningkatan pada musim-musim pancaroba menjelang datangnya musim kemarau. Temperatur yang meningkat dapat mempercepat siklus hidup ulat bulu yang semula membutuhkan waktu 4-7 minggu menjadi kurang dari 4 minggu. Tingkat kelembapan yang tinggi juga mengakibatkan sejumlah parasit yang menjadi predator alami ulat bulu tidak mampu bertahan hidup dan mengontrol populasi ulat bulu. Meningkatnya populasi ulat bulu juga disebabkan semakin berkurangnya musuh alami, seperti burung, parasitoid, dan predator lain. Oleh karena itu, pengendalian terhadap populasi ulat menjadi lankah yang harus segera dilakukan. Terlebih kemampuan produksi telur ulat betina menacapai 70 sampai 300 butir per-ulat. Perubahan iklim global menjadi faktor utama. Akibat adanya perubahan iklim, terjadi perubahan suhu dan kelembaban udara (Ainur.2012).
2.   Populasi adalah himpunan individu-individu suatu spesies organisme yang terdapat di suatu tempat pada suatu waktu. Satuan terkecil pembangun populasi adalah individu. Individu-individu suatu spesies hewan di suatu tempat memperlihatkan variasi individu, yakni persamaan dan perbedaan menyangkut aspek-aspek fisiologis, struktural-morfologis, perilaku, baik yang bersifat herediter maupun tidak. Tinggi rendahnya jumlah individu populasi suatu spesies hewan menunjukkan besar kecilnya ukuran populasi atau tingkat kelimpahan populasi itu. Area suatu populasi tidak dapat ditentukan batasnya secara pasti, sehingga kelimpahan (ukuran) populasi pun tidak mungkin dapat ditentukan (Rachmawati, A.2012)
Intensitas menunjukkan aspek tinggi rendahnya kerapatan populasi dalam area yang dihuni spesies. Prevalensi menunjukkan jumlah dan ukuran area-area yang ditempati spesies dalam konteks daerah yang lebih luas (masalah sebaran). Suatu spesies hewan yang prevalensinya tinggi (=prevalen) dapat lebih sering dijumpai. Spesies yang prevalensinya rendah, yang daerah penyebarannya terbatas (terlokalisasi) hanya ditemui di tempat tertentu. Spesies hewan dapat dimasukkan dalam salah satu dari empat kategori berikut:
Ø  prevalensi tinggi (=prevalen) dan intensitasnya tinggi
Ø  prevalensi tinggi (=prevalen) tetapi intensitasnya rendah
Ø  prevalensi rendah (=terlokalisasi) tetapi intensitasnya tinggi
Ø  prevalensi rendah (=terlokalisasi) dan intensitasnya rendah.
Disperse adalah sebaran individu intra-populasi. Penyebaran secara teratur (regular dispersion) dengan individu–individu yang kurang lebih berjarak sama satu dengan yang lain. Penyebaran acak (random dispersion) terjadi apabila faktor lingkunganya sangat seragam untuk seluruh daerah dimana populasi berada, selain itu tidak ada sifat–sifat untuk berkelompok dari organisme tersebut. Penyebaran secara merata, penyebaran seacam ini terjadi apabila ada persaingan yang kuat diantara individu–individu dalam populasi tersebut (Lestari, 2001). 
       Fekunditas secara umum berarti kemampuan untuk bereproduksi. Dalamn biologi, fekunditas adalah laju reproduksi aktual suatu organisme atau populasi yang diukur berdasarkan jumlah gamet, biji, ataupun propagula aseksual. Dalam bidang demografi, fekunditas adalah kapasitas reproduksi potensial suatu individu ataupun populasi. Fekunditas berada di bawah kontrol gametik maupun lingkungan dan merupakan ukuran utama kebugaran biologi suatu spesies (Anonymous.2013)
Kelulushidupan merupakan peluang hidup dalam suatu saat tertentu. Kelulushidupan dipengaruhi oleh faktor biotik dan biotik. Faktor biotik yang mempengaruhi yaitu kompetitor, parasit, umur, predasi, kepadatan populasi, kemampuan adaptasi dari hewan dan penanganan manusia. Faktor abiotik yang berpengaruh antara lain yaitu sifat fisika dan sifat kimia dari suatu lingkungan (Effendi, M.S. 1979). Menurut Stickey (1979), prosentase kelulushidupan dipengaruhi oleh faktor abiotik seperti kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan, penanganan manusia, jumlah populasi, kompetitor, penyakit, umur serta ada atau tidaknya predator.
Dilihat dari pengertian masing-masing, manfaat pemanfaatan konsep kelimpahan, intensitas dan prevalensi, disperse, fekunditas, dan kelulushidupan sangat penting dalam penentuan hewan langka. Apabila kelimpahan populasi suatu spesies hewan rendah, maka jumlah individu populasi suatu spesies hewan rendah. Kelimpahan populasi suatu spesies mengandung dua aspek yang berbeda, yaitu aspek intensitas dan aspek prevalensi. Spesies yang terlokalisasi dan intensitasnya rendah dikategorikan sebagai spesies langka. Adakalanya spesies yang intensitasnya tinggi namun prevalensinya rendah pun dimasukkan dalam kategori tersebut. Kategorisasi status spesies dengan memperhitungkan dua aspek tersebut sangat penting terutama dalam menentukan urutan prioritas perhatian dan untuk melakukan upaya-upaya kelestarian spesies hewan langka yang terancam punah. Prevalensi mempengaruhi disperse, apabila prevalensi rendah maka dispersi juga rendah
Fekunditas juga merupakan hal yang sangat penting dalam penentuan hewan langka. Apabila fekunditas rendah, maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk melakukan reproduksi dan sedikit jumlah anak yang dihasilkan oleh spesies hewan tersebut. Hal itu menandakan bahwa jumlah hewan tersebut sangat jarang sekali untuk bertambah. Sehingga apabila suatu spesies hewan memiliki fekunditas yang tinggi, maka jumlahnya akan sering bertambah karena hewan tersebut mampu bereproduksi dalam waktu yang relatif singkat dengan banyak jumlah anak yang dihasilkan.
Kelulushidupan sangat mempengaruhi penentuan hewan langka karena apabila suatu spesies hewan tidak bisa bertahan hidup dalam suatu keadaan tertentu baik yang dipengaruhi oleh faktor biotik atau abiotik, maka jumlah spesies hewan tersebut akan berkurang atau bahkan punah.

3. Parasitisme adalah hubungan antara dua individu, yaitu antara parasit yang memperoleh keuntungan dan hospes yang dirugikan. Parasitisme tersebut terutama adalah mengenai koaxi dalam makanan, dan juga perlindungan parasit oleh inangnya. Suatu parasit tidak akan membunuh inangnya dengan segera, sebelum dapat menyelesaikan daur reproduksinya. Bila parasit segera membunuh inangnya segera setelah infeksi, maka parasit tidak bisa bereproduksi dan akan punah. Keseimbangan antara hospes dan parasit akan terganggu jika hospes tersebut menghasilkan antibodi atau bahan lain yang dapat mengganggu pertumbuhan parasit.
 Parasitoidisme adalah sekelompok insekta yang dikelompokkan dengan dasar perilaku bertelur betina dewasa dan pola perkembangan larva selanjutnya. Terutama untuk insekta dari ordo Hymenoptera, dan juga meliputi banyak Diptera. Mereka hidup bebas pada waktu dewasa, tetapi betinanya bertelur di dalam, pada atau dekat insekta lain. Larva parasitoid berkembang di dalam (atau jarang pada) individu inang yang masih tingkat pre-dewasa. Pada awalnya hanya sedikit kerusakan yang tampak ditimbulkan terhadap inangnya, tetapi akhirnya hampir dapat mengkonsumsi seluruh inangnya dan dengan demikian makan dapat membunuh inang tersebut sebelum atau sesudah stadium kepompong (pupa). Jadi parasitoid dewasa, bukan inang dewasa yang akan muncul dari kepompong. Sering hanya satu parasitoid yang berkembang dari tiap inang, tetapi pada beberapa kejadian beberapa individu hidup bersama dalam satu inang. Jelasnya parasitoid hidup bersama akrab dengan individu inang tunggal (seperti pada parasit), mereka tidak menyebabkan kematian segera atas inang (seperti pada parasit), mereka tidak menyebabkan kematian segera atas inang (seperti parasit dan juga “Grazers”), tetapi juga dapat menyebabkan kematian (Kurniasih,R.2011). 
Pengendalian hayati (biological control) adalah taktik pengendalian hama yang melibatkan manipulasi musuh alami hama yang menguntungkan untuk memperoleh pengurangan jumlah populasi dan status hama di lapangan. Biological control berbeda dengan natural control, natural control dalam prakteknya melibatkan agen lain selain musuh alami, misalnya cuaca atau makanan. Beberapa author mengungkapkan bahwa biological control dalam arti luas termasuk semua metode yang melibatkan organisme hidup sebagai bagian dari taktik pengendalian, seperti penggunaan inang yang resisten, pelepasan serangga steril, atau manipulasi genetik.
Organisme dalam aktivitas hidupnya selalu berinteraksi dengan organisme lainnya dalam suatu keterkaitan dan ketergantungan yang kompleks. Interaksi antar organisme tersebut dapat bersifat antagonistik, kompetitif atau simbiotik. Sifat antagonistik ini dapat dilihat pada musuh alami yang merupakan agen hayati dalam pengendalian hama. Musuh alami memiliki peranan dalam pengaturan dan pengendalian populasi hama, sebagai faktor yang bekerjanya tergantung kepada kepadatan, dalam kisaran tertentu musuh alami dapat mempertahankan populasi hama di sekitar aras keseimbangan umum. Setiap spesies serangga hama sebagai bagian dari komplekskomunitas dapat diserang oleh serangga lain atau oleh patogen penyebab penyakit pada serangga. Ditinjau dari segi fungsinya musuh alami dapat dikelompokan menjadi predator, parasitoid dan patogen.
Teori biological control pada dasarnya tidak berbeda dengan prinsip–prinsip ekologi dan dinamika populasi. Seperti yang didiskusikan sebelumnya, banyak factor lingkungan yang mengatur kepadatan populasi, juga batas–batas fluktuasi serangga. Hal ini termasuk density–independent dan perfectly and imperfectly density dependent factor.
Pada konteks pengendalian biologi, telah terdapat pengaturan populasi hama dan hubungan serangga dengan musuh alaminya bersifat imperfectly density dependent factor (ada factor–factor yang tidak bebas, kadang–kadang membatasi jumlah individu dalam populasi contohnya parasitoid atau predator mempunyai luasan tertentu untuk mengatur populasi mangsa). Tujuan dari biological control : salah satunya adalah untuk mengintroduksi musuh alami atau memanipulasi jumlah musuh alami yang ada yang sehingga menyebabkan terjadinya fluktuasi kepadatan hama sampai dibawah ambang luka ekonomi.
Goal dari program biological control ini adalah terciptanya suatu self sustaining sytem (sistem pertahanan diri). Sebagai contoh, musuh alami yang diintroduksikan ke dalam suatu area dengan harapan akan stabil pada area tersebut, Karena jumlah hama berfluktuasi dibawah ambang luka ekonomi (EIL), dan dilanjutkan pada penurunan kepadatan populasi tanpa adanya manipulasi lebih jauh. Tentu saja, dengan menerapkan sistem ini tidak mengeliminasi keseluruhan jumlah populasi hama yang ada di lapangan karena jika menghabiskan semua populasi hama, maka akan memutus ketersediaan makanan bagi musuh alami.
Mekanisme dari self sustaining system, secara teori, berdasarkan pada ketersediaan makanan yang ada dan kemamampuan reproduksi Dari musuh alami. Dalam hal ini, peningkatan populasi hama yang ada di area berarti ketersediaan makanan bagi musuh alami juga semakin banyak, sehingga populasi musuh alami juga mengalami peningkatan (Ekspansi). Ketika ekpansi terjadi, peningkatan proporsi dari populasi hama akan mengalami gangguan, sehingga mengurangi juga ketersediaan pakan bagi musuh alami. Kekurangan pakan ini akan berakibat pada penurunan tingkat reproduksi, menyebabkan penurunan populasi musuh alami. Ketika jumlah musuh alami menurun, maka tekanan terhadap populasi hama semakin menurun, sehingga jumlah hama di lapangan akan meningkat, ketika jumlah hama di lapangan meningkat, makan populasi musuh alami juga akan meningkat. (not so imperfectly dependable or smoothly operating). Respon yang terjadi antara hama dan musuh alami, adalah respon numeric, dimana peningkatan jumlah populasi hama di lapangan juga meningkatkan jumlah populasi musuh alami di lapangan (Hartoyo,D.2012).

 4. Nilai sikap dan karakter yang harus ditumbuhkan pada siswa ketika belajar konsep-konsep dalam ekologi hewan adalah menerapkan pada siswa tentang pentingnya bioetika dalam mempelajari konsep-konsep dalam ekologi hewan. Biofilia adalah ikatan atau kesenangan manusia terhadap alam dan spesies lainnya sebagai bawaan alami manusia. Secara lebih luas Kellert menguraikan definisi biofilia sebagai “kecenderungan manusia menyukai alam sebagai bawaan alamiah manusia dalam berafiliasi melalui proses yang terjadi dengan alam seperti ketergantungan dengan kehidupan dan benda yang menjadi sumber kehidupan (misalnya, ekosistem) yang semuanya itu merupakan lingkungan yang asli dan bukan buatan manusia. Kemudian Kellert mendefinisikan sembilan persepsi biofilia, di antaranya sebagai berikut:
Ø  Estetika, mereka yang cenderung dengan daya tarik fisik dan keindahan alam.
Ø  Dominionistis, hasrat menguasai dan mengontrol alam.
Ø  Humanistis, keterkaitan emosional dengan alam.
Ø  Naturalistik, eksplorasi dan menemukan sesuatu di alam.
Ø  Negatif, takut dan menjauh dari alam.
Ø  Moralitis, hubungan moral dan spiritual dengan alam.
Ø  Saintifik, sifat ingin mengetahui dan memahami tentang alam.
Ø  Simbolistik, alam sebagai sumber komunikasi dan imajinasi.
Ø  Ulititarian, alam sebagai sumber untuk mendapatkan fisik dan materi.

Pendidikan mempunyai peran yang sangat strategis dalam membentuk karakter bangsa dan sarana untuk menularkan pengetahuan, presepsi dan budaya manusia Biofilia berfungsi untuk mengkaji pertalian antara manusia dan alam. Kecenderungan terhadap biofilia ini didasari atas adanya pendapat bahwa kesehatan mental dan fisik manusia sangat tergantung pada sistem alami dan proses alam. Ketergantungan ini merefleksikan fakta akan keterlibatan manusia dalam merespons alam dan cara mereka beradaptasi untuk menyesuaikan diri dan menyintaskan keberlanjutan hidup mereka yang bergantung pada alam. Selain itu, biofilia dimaksudkan untuk dapat memahami bagaimana sesungguhnya pemahaman manusia terhadap alam, sehingga diketahui bagaimana mengatur manusia. Aldo Leopold mengatakan “Dalam masalah (kehidupan liar) sesungguhnya bukan bagaimana kita menangani (satwa)... tetapi akar masalah sesungguhnya adalah... mengelola manusia. Manajemen kehidupan liar adalah relatif mudah; namun manajemen manusia adalah sulit.
Dalam perhitungan untuk sebuah eksploitasi terhadap sumber daya alam (SDA), umpamanya, manusia pasti dihadapkan pada keadaan bahwa mereka harus mengorbankan banyak spesies dan habitat mereka. Perdebatan terjadi manakala sumber daya alam tersebut merupakan sisa warisan alam yang semestinya tetap dipertahankan sebagai penyangga ekosistem. Kalangan biosentrisme menilai bahwa alam dan seluruh isinya mempunyai harkat dan nilai atas dirinya sendiri, dan sebab itu selain manusia mempunyai tanggung jawab moral terhadap sesama manusia, namun mereka juga bertanggung jawab moral terhadap semua mahluk hidup. Studi tentang biofilia ini dilakukan dalam upaya memetakan keadaan dasar manusia yang merupakan sifat bawaan, antara kebutuhan manusia dan kecenderungannya untuk berhubungan dengan sesuatu yang hidup dan bersimpati pada kehidupan ataupun proses yang mendukung kehidupan (Mangunjaya, F.M. 2008).
Selain biofilia, nilai sikap dan karakter yang harus ditumbuhkan pada siswa ketika belajar konsep-konsep dalam ekologi hewan adalah bioetika. Menurut Potter, bioetika merupakan suatu disiplin keilmuan yang baru, yang merupakan kombinasi antara pengetahuan hayati (biologi) dengan pengetahuan sistem nilai manusia. Definisi Potter ini sekaligus memberikan pula tujuan bioetika, yaitu membangun jembatan antara ilmu pengetahuan dan humaniora (kemanusiaan), membantu “kemanusiaan” untuk tetap selamat dan lestari, serta menyempurnakan dunia beradap. Bioetika mencakup solidaritas terhadap biosfer, sehingga menghasilkan etika global, suatu disiplin yang mewakili hubungan antara biologi, kedokteran, ekologi, dan nilai-nilai kemanusiaan dalam rangka mencapai kelangsungan hidup baik manusia dan spesies hewan lainnya.
Bioetika dapat dilukiskan sebagai ilmu pengetahuan untuk mempertahankan hidup dan terpusat pada penggunaan ilmu-ilmu biologis untuk memperbaiki mutu hidup. Dalam arti yang lebih luas, bioetika adalah penerapan etika dalam ilmu-ilmu biologis, obat, pemeliharaan kesehatan dan bidang-bidang terkait. Sebagai sebuah etika rasional, bioetika bertitik tolak dari analisis tentang data-data ilmiah, biologis, dan medis. Keabsahan campur tangan manusia dikaji. Nilai transendental manusia disoroti dalam kaitan dengan sang pencipta sebagai pemegang nilai mutlak. Terkadang, istilah bioetika juga digunakan untuk mengganti istilah etika medis, yang mencakup masalah etis tentang ilmu-ilmu biologis seperti penyelidikan tentang hewan, serta usaha-usaha manipulasi spesies-spesies bentukan genetik non manusiawi. Acap kali, penggunaan istilah bioetika dan etika medis saling dipertukarkan.
Pemanfaatan hewan laboratorium untuk penelitian, wajib memegang prinsip 3R (Replaced, Reduced and Refinement). Arti dari prinsip ini adalah hewan yang digunakan harus yang memiliki tingkat evolusi yang paling rendah, yang sesuai untuk mencapai tujuan penelitian dengan memanfaatkan hewan dalam jumlah sekecil mungkin tetapi tetap memberikan hasil yang sahih, serta menggunakan teknik yang meminimalisasi nyeri maupun stres.
Selain itu, prinsip bioetika yang harus dipegang teguh adalah memberikan 5F atau 5 freedom. Kelima kebebasan tersebut adalah kebebasan dari rasa lapar dan haus (freedom from hunger and thirst), kebebasan dari ketidaknyamanan (freedom from discomfort), kebebasan dari rasa sakit dan penyakit (freedom from pain, injury and disease), kebebasan dari ketakutan dan stres jangka panjang (freedom from fear and distress), dan kebebasan dalam mengekspresikan tingkah laku alaminya (freedom to express natural behavior).
Kedua prinsip utama bioetika diatas dapat dilaksanakan dan dipantau oleh suatu komisi pengawasan dan penggunaan hewan laboratorium pada institusi yang memanfaatkan hewan laboratorium baik untuk penelitian maupun akademik.
Pada sesi diskusi Prof. Dr. Djokowoerjo Sastradipradja, anggota komisi IPD AIPI  mengemukakan dalam sumbang pendapat tertulis yang tidak dibacakan, yaitu pentingnya bioetika perlakuan terhadap hewan coba khususnya dan satwa untuk kegunaan lainnya pada umumnya oleh masyarakat. Pada saat ini nyatanya belum menjadi concern masyarakat umum karena anggapan hewan lebih inferior dari manusia. Bioetika bermula dari minat hubungan antar manusia, tetapi makin lama meluas hingga mencakup bidang-bidang lain, diantaranya dengan hewan. Perlakuan terhadap organisme hidup dan lingkungan berdasarkan etika moral yang luhur itu berkembang pada diri manusia yang semula berawal dari keinginan egoistik menghindari hukuman yang mengancam pribadinya menjadi keprihatinan akan kepastian berfungsi baik kelompok dan kemudian aplikasinya sebagai azas-azas etika moral.
Pertimbangan hubungan dengan hewan ialah bahwa: hewan juga punya setiency yaitu aspek nociseptif mengindera sakit, tetapi juga suffering (menderita sakit) yang kwalitas emosinya subjektif. Ungkapan perikemanusiaannya adalah: Hak untuk disakiti adalah milik semua makhluk hewan; ia bukan milik eksklusif manusia. Dengan menghayati rasa iba/sayang/hormat kepada kehidupan akan meningkatkan moralitas, artinya moral meningkat kalau saja manusa berhenti mencelakakan sesama dan membuang naluri-naluri primitif. Etika hendaknya tidak saja diartikan sebagai etiket tata perilaku manusia semata melainkan terlebih-lebih sebagai komitmen penghayatannya (Soegeng.2012).
5. Larva Trichoptera merupakan salah satu penyusun komponen terbesar dari komunitas bentik makroavertebrata pada ekosistem akuatik lotik. Beberapa alasan penting tentang keuntungan penggunaan hewan tersebut sebagai bioindikator lingkungan antara lain: 1) Distribusi yang luas dari organisme tersebut dengan berbagai macam tipe habitat mulai dari rembesan air, mata air, sungai, danau, hingga laut, 2). Kelimpahan yang relatif besar di ekosistem akuatik, 3) Respon terhadap kualitas lingkungan dapat ditunjukkan dengan perubahan morfologi, bioakumulasi, dan perilaku, 4) Diversitas jenisnya relatif tinggi. Lebih dari 1350 jenis yang telah diketahui di daerah Amerika utara, yang melakukan penelitian di Sulawesi Utara menemukan 89 jenis hidup di Sulawesi, 5) Siklus hidupnya relatif panjang, umumnya bersifat univoltine (satu generasi dalam satu tahun) dan sebagian besar memiliki 5 instar tahap perkembangan, 6) Fungsinya dalam rantai makanan sebagai dekomposer bahan organik dan sumber makanan bagi burung dan ikan, 7) Ukurannya relatif besar yaitu 1- 3 cm dengan berat kering 30-100 mg, 8) Tubuh hewan yang relatif keras sehingga memudahkan dalam melihat adanya abnormalitas morfologi dibandingkan dengan larva Chironomid. Hewan tersebut umumnya banyak dijumpai pada perairan yang memiliki permukaan batuan dari dasar sungai atau danau. Sebagian besar larva Trichoptera lebih menyukai hidup pada tipe perairan dangkal (5-10 cm) dengan air yang mengalir di atas permukaan batuan dan sedikit jenis yang ditemukan pada substrat halus di bagian air yang dalam. 

Komunitas larva Trichoptera sebagai prediksi gangguan pada ekosistem akuatik 
Pengaruh fisik berupa gangguan pada habitat terhadap komunitas Trichoptera telah dipelajari secara mendalam oleh CAMARGO (1991) dan TAKAO et al. (2006). TAKAO et al. (2006) menyebutkan bahwa kecepatan aliran dan fluktuasi dari debit sungai merupakan pengendali utama dari organisasi biologi yang ada dalam sistem lotik. Tingginya arus sungai dapat menyebabkan perubahan pada populasi larva Trichoptera dengan cara menghanyutkan semua individu atau memindahkan material sedimen yang dapat menyebabkan kematian.
CHAKONA et al. (2009) menggunakan komunitas larva Trichoptera guna mendeteksi gangguan ekosistem sungai akibat deforestasi dan aktivitas pertanian di dua daerah tangkapan yaitu Nyaodza-Gachegache dan Chimanimani (Zimbabwe). Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya perubahan dalam komposisi taksa akibat perubahan pada tata guna lahan dan geomorfologi. Marga Anisocentropus, Dyschimus, Lepidostoma, Leptocerina, Athripsodes, Parasetodes, Aethaloptera, Hydropsyche, dan Polymorphanisus keberadaannya terbatas pada daerah hutan yang belum mengalami gangguan dengan karakteristik rendahnya temperatur, turbiditas, konsentrasi silt, dan tingginya elevasi, oksigen terlarut, dan transparansi. Sedangkan kelimpahan larva Hydroptila cenderung menyukai habitat yang sudah mengalami gangguan khususnya di daerah pertanian. Hilangnya marga dari larva Trichoptera yang tergolong sensitif di daerah yang telah mengalami deforestasi dan pertanian kemungkinan besar disebabkan oleh berkurangnya material tanaman yang masuk pada sungai sebagai bahan makanan bagi larva tersebut maupun disebabkan kerusakan habitat akibat sedimentasi.
\Penelitian yang dilakukan CLEMENTS (1994) di bagian hulu Sungai Arkansas, Colorado menunjukkan hasil yang berkebalikan dengan STUIJFZAND et al. (1999). Sungai yang mendapat masukan dari air asam tambang dalam kategori tercemar sedang hingga berat didominasi oleh larva Chironomid Othocladiinae dan Trichoptera. BEASLEY & KNEALE (2004) menyebutkan larva Trichoptera suku Hydropsychidae relatif toleran terhadap kontaminasi logam berat Cu, Cd, dan Pb di perairan. Biasanya meningkatnya dominansi bentos pada beberapa jenis suku Chironomidae dan Hydropsychidae merupakan sinyal awal dari meningkatnya kontaminasi logam (CANFIELD et al.1994; LUOMA & CARTER 1991; WINNER et al. 1980). Beberapa larva Trichoptera mampu hidup pada kondisi lingkungan yang ekstrim seperti Helicopsyche borealis (Hagen). Hewan tersebut mampu hidup pada sumber air panas yang konsentrasi sulfida tinggi dan sungai-sungai yang telah menerima masukan limbah domestik. Hewan tersebut dilaporkan mampu mentolerir adanya kebocoran dari tangki bensin yang masuk ke dalam sungai yang mengakibatkan sebagian besar fauna makrobentik yang ada telah mengalami drifting (penghanyutan) atau kematian (MACKAY & WIGGINS 1979). 

Respon subletal larva Trichoptera untuk mendeteksi kontaminasi polutan toksik. 
Larva Trichoptera juga sering digunakan untuk mengkaji pengaruh subletal dari pemaparan bahan polutan toksik di perairan. Sebagai contoh adanya penyimpangan dari hewan tersebut dalam membuat pola jaring ketika didedahkan dengan senyawa logam berat: kadmium, tembaga (TESSIER et al. 2000a), pestisida: organofosfat malation (TESSIER et al. 2000b), fenvalerate (RASCH et al.1999), DDT, dieldrin, fenethcarb, dan buangan limbah pabrik kertas yang mengandung: 4,5,6-trikloroguaiacol, 2,4-Diklorofenol (2,4-DCP) (TESSIER et al. 2000c; RASCH et al. 1999). Pola jaring pada kondisi normal terlihat helaian jaring yang saling bertemu membentuk kotak persegi panjang. TESSIER et al. (2000) menjelaskan bentuk pola jaring dapat dibagi menjadi 2 yaitu A dan B. Pola A dimulai pada helai jaring bagian pojok atas kiri atau kanan dan menuju ke arah bawah menbentuk pola diagonal ke pusat jaring. Pola B dimulai dari pusat penggabungan dan bertemu dengan pola lainnya menuju bagian pinggir bawah dari jaring. Gambar 1 merupakan perubahan dari pola A ke pola B membentuk semacam garis tengah berupa pola intan. Jaring yang ada di bagian kiri dan kanan secara jelas dipisahkan oleh garis tengah tersebut.
Hasil pemaparan kronis dengan menggunakan malation pada konsentasi 0,01; 0,05; 0,1; 0,5 dan 1,0 μg/1 menunjukkan adanya kejanggalan pada bentuk pola jaring dari larva tersebut. Kejanggalan pertama muncul ketika adanya distorsi dari helai jaring di bagian garis tengah yang normalnya berbentuk intan dan adanya tambahan helai (extra strands) di bagian garis tengah tersebut atau yang disebut sebagai “midline anomaly”. Kejanggalan ke dua diamati ketika adanya perubahan yang signifikan dari simetri jaring (Gambar 2). Kedua kejanggalan tersebut berkorelasi kuat dengan aksi dari malation yang menghambat enzim asetilkolinesterase (AchE). Simetri jaring semakin menurun pada konsentrasi 0,5 dan 1 μg/1 malation (TESSIER et al. 2000b).
TESSIER et al. (2000c) yang mendedahkan larva Hydropsyche slossonae dengan toksikan 2,4-DCP menunjukkan pengaruh yang signifikan pada abnormalitas bentuk jaring ketika konsentrasi larutan mulai dari 1, 10, 25 dan 50 μg/l. Tipe kecacatan terdiri dari dua bentuk yaitu “midline anomaly” dan “chaotic net”(Gambar 3). “ Chaotic net” merupakan bentuk dari struktur jaring yang tidak beraturan. Frekwensi tipe abnormalitas “chaotic net” berkorelasi kuat dengan reduksi konsentrasi ATP pada larva dan pengaruh uncoupling dari 2,4-DCP pada proses fosforilasi oksidatif. Hal yang sama juga diamati adanya kejanggalan pada pola jaring larva Hydropsyche slossonae ketika didedahkan dengan logam berat kadmium. Dua kejanggalan dalam pola jaring diamati ketika didedahkan pada pemaparan kronis logam kadmium pada konsentrasi 0,37; 1,2; 11,6; 21,4 dan 43,3 μg/1 . Kejanggalan pola pada jaring Trichoptera yang didedahkan dengan kadmium berupa “midline anomaly” dan distorsi dari struktur rectilinier dari helai jaring ketika adanya penggabungan atau penambahan helai jaring (Gambar 3) atau yang disebut dengan “crossover' anomaly” (TESSIER et al. 2000a). RASCH et al. (1999) mendedahkan larva Hydropsyche siltalai dengan konsentrasi fenvalerate 0,5 μg/l menunjukkan penurunan simetri dan peningkatan ukuran pori-pori jaring.



Beratnya polusi di ekosistem air tawar telah diketahui dapat meningkatkan insiden abnormalitas morfologi hewan air tawar. Abnormalitas morfologi dari serangga akuatik telah lama digunakan dalam studi yang berkaitan dengan pengaruh polutan toksik di ekosistem akuatik (WIEDERHOLM 1984; WARWICK 1985; DICKMAN et al. 1992; BISTHOVEN et al. 1998). Respon subletal berupa kecacatan insang dan anal papilae dari larva Trichoptera telah dipelajari secara mendalam guna pengembangan indikator biologi perairan khususnya dalam bidang biomarker. Abnormalitas pada insang trachea, organ regulasi ion, dan anal papilae dapat menunjukkan adanya gangguan pada respirasi dan fungsi pengaturan ion pada individu (VUORI & KUKKONEN 1996). Adanya perubahan morfologi dari insang larva Hydropsychidae berupa penghitaman warna, reduksi dari anal papilae dan insang trachea ketika larva tersebut didedahkan dengan menggunakan logam berat: kadmium (VUORI & KUKKONEN 2002), tembaga (PETERSEN dalam VUORI & KUKKONEN 2002 ), dan aluminium (VUORI & KUKKONEN 1996), khromium (LESLIE et al. 1999). Munculnya penghitaman warna dan kelainan pada insang ini umumnya dijumpai pada larva instar terakhir atau yang lebih tua (VUORI & KUKKONEN 2002). CAMARGO (1991) mengamati adanya gangguan berupa penonjolan dan penghitaman warna pada anal papilae dan insang trachea pada larva H. pellucidula yang didedahkan dengan air yang terklorinasi. Jumlah cabang-cabang pada insang trachea mengalami reduksi hingga menjadi potongan tunggal yang pendek



Kondisi yang sama juga diamati di Sungai Kyrönjoki (Findland) yang sudah terpolusi menunjukkan banyaknya abnormalitas dan penghitaman insang trachea pada larva Cheumatopsyche lepida dan Hydropsyche pellucidula. Sungai tersebut terpolusi oleh buangan yang berasal dari pabrik pulp and paper dan industri kimia lainnya yang sebagian besar mengandung produk klorofenol (misalnya penta-, tetra-, dan tri-klorofenol), poliklorinated dibenzo-p dioxin dan furan (PCDD/Fs), poliklorinated difenileter (PCDEs), dan logam berat aluminium (VUORI & KUKKONEN 1996). LESLIE et al. (1999) yang melakukan penelitian di Sungai Chusoyava Rusia mengkategorikan kerusakan insang pada trachea Hydropsyche pellucidula akibat pendedahan logam khromium sebagai berikut: 0 = tidak ada kerusakan/ normal, 10 = kerusakan marginal (≤ 5ujung insang bewarna hitam), 20 = kerusakan kecil (> 5 yang bewarna hitam), 30 = kerusakan sedang (> 25 yang hitam), 40 = kerusakan ekstrim (semua bewarna hitam). Kerusakan insang di masing-masing lokasi penelitian ditentukan dengan cara mencari nilai rerata skornya. Bentuk dan warna insang yang pucat dikategorikan normal dapat dilihat pada Gambar 4A. Bentuk penghitaman (Gambar 4B dan C) dan abnormalitas pada larva Hydropsyche siltalai di bagian insang trachea dapat dilihat pada Gambar 4D.  
Studi biomarker dengan menggunakan pendekatan biokimia telah digunakan sebagai alat untuk mengidentifikasi perubahan pada level subseluler akibat induksi bahan polutan sebelum pengaruh yang lebih besar muncul pada tingkat organisasi biologi yang lebih tinggi. Enzim biomarker yang sering digunakan dalam mendeteksi senyawa xenobiotic di lingkungan adalah asetilkolinesterase (AchE) dan glutatione-S-tranferase (GST). BERRA et al. (2006) mengkaji pengaruh senyawa organofosfat fenitrothion pada enzim dan hasil metabolitnya pada larva Trchoptera Hydropsyche pellucidula. Larva yang didedahkan dengan kosentrasi subletal 0,1 dan 1 mg/l fenitrothion dapat menghambat aktivitas kerja enzim GST dan esterase termasuk asetilkolinesterase, p-nitrofenilacetat esterase, α-naftilacetat esterase. Analisis hasil metabolit dari larva yang didedahkan fenitrothion menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi malate dan alanine. Hal ini mungkin berkaitan dengan peningkatan mobilisasi protein akibat peningkatan aktivitas enzim transaminase.

Studi Bioakumulasi pada Larva Trichoptera untuk Prediksi Bioavailability Polutan di Ekosistem Akuatik.
Pengaruh polutan di ekosistem akuatik pada biota dapat diprediksi lebih akurat dari akumulasi polutan tersebut dalam tubuh organisme dibandingkan dengan yang terkonsentrasi di air dan sedimen (VUORI & KUKKONEN 1996; SOLA et al. 2004). Larva serangga akuatik menduduki hampir seluruh trofik level dan mempunyai berbagai macam feeding habit. Metabolisme yang cepat dan siklus hidup yang bervariasi, dan kemampuan dari hewan tersebut untuk mencerminkan nasib dan pengaruh kimia, maka hewan tersebut sangat cocok digunakan dalam memprediksi kualitas lingkungan dengan akurasi yang relatif tinggi (VUORI & KUKKONEN 1996).
Akumulasi polutan pada tubuh larva Trichoptera telah digunakan untuk memprediksi bioavailability polutan dalam air dan sedimen. SOLA & PRAT (2006) menggunakan larva Hydropsyche untuk mengkaji akumulasi dari kontaminasi logam dan metaloid di Sungai Guardimar (Spanyol) yang terpolusi oleh limbah hasil penambangan. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan akumulasi logam dan metaloid pada hewan tersebut berkorelasi kuat dengan konsentrasi polutan tersebut dalam air, sedimen, dan parameter komunitas bentik lainnya seperti: kekayaan taksa, kelimpahan, taksa EPT (Ephemeroptera, Plecoptera, dan Trichoptera) dan taksa OCH (Odonata, Coleoptera dan Heteroptera). Kemampuan larva Hydropsyche untuk mengakumulasi logam Cu dan Cd relatif baik dan dapat mencerminkan adanya peningkatan 3 hingga 35 kali lipat dibandingkan dengan yang hidup di reference site (SOLA et al. 2004). CAIN et al. 2000 yang mengamati akumulasi logam Cd, Cu, dan Pb di H. californica bersifat bioavailable akibat air asam tambang, sedangkan logam Hg dan Zn tidak konsisten menunjukkan adanya peningkatan logam di tubuh hewan tersebut.

Respon perilaku larva Trichoptera terhadap sedimentasi.
Transport sedimen yang berukuran halus (tersuspensi maupun terendapkan) merupakan penyebab dominan dari perusakan habitat dan ekologi di ekosistem akuatik (IRELAND 2007). Keberadaan sedimen halus ini telah diketahui dapat memberikan dampak negatif bagi kelangsungan hidup dan ketersediaan habitat untuk ikan maupun fauna makrobentik. Diversitas dan kepadatan fauna makrobentik umumnya lebih tinggi pada ukuran substrat yang didominasi oleh kerakal (cobble) dan kerikil, sedangkan pasir dan lumpur mempunyai diveristas dan kepadatan lebih rendah (KALLER & HARTMAN 2004). HABDIJA et al. (2002) menunjukkan batuan boulder dan kerakal yang ditutupi lumut mempunyai biomassa yang lebih tinggi (54% pada boulder dan 55,8% kerakal) dibandingkan dengan batuan tersebut yang ditutupi oleh perifiton (9,9 % boulder dan 14,8% kerakal). Di tipe perairan tergenang, biomassa total dari larva Trichoptera jauh berkurang (< 2,5%) pada substrat batuan.
Respon perilaku dari larva Trichoptera terhadap sedimentasi telah dipelajari lebih mendalam oleh RUNDE & HELLENTHAL (2000a), RUNDE & HELLENTHAL (2000b), dan WOOD et al. (2001). RUNDE & HELLENTHAL (2000a) memaparkan larva Hydropsyche sparna instar 4 dan 5 dengan beban sedimen 14,6 kg/m2 berupa substrat pasir (diameter 126-2000 μm) dalam sebuah sungai buatan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan larva Trichoptera mengalami tiga respon yaitu penghanyutan, mati, dan terkubur dalam kondisi hidup. Ketika larva masih dalam kondisi terkubur hidup, larva tersebut masih tetap berjalan mundur di sedimen dan memperbesar bagian kepala, dada, dan abdomennya agar masih tetap berada di bagian air overlying. Respon penghanyutan terjadi ketika diameter partikel yang dominan di bawah 1000 μm, sedangkan partikel yang lebih besar akan menginduksi perilaku penguburan dalam kondisi hidup. Laju mortalitas dari percobaan tersebut berkisar 0 - 4,8%. WOOD et al. (2001) yang mengubur larva Melampophylax mucoreus dengan ketebalan sedimen 5 hingga 10 mm memperoleh rata-rata dari individu (63,8%) dapat menggali sendiri dari sedimen dengan lamanya waktu yang dibutuhkan ± 15 menit untuk meloloskan diri. Secara umum larva yang dikubur dengan tipe sedimen yang lebih halus dan tebalnya sedimen akan meningkatkan waktu untuk meloloskan diri.
RUNDE & HELLENTHAL (2000b) memaparkan partikel tersuspensi dengan diameter yang lebih halus 0,4-500μm dan konsentrasi 667-6000mg/l selama 24 jam pada larva Hydropsyche . Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan respon penghanyutan dan kematian tidak terjadi selama percobaan berlangsung. Ada 4 perilaku dari hewan tersebut berkaitan dengan penanganannya terhadap jaring yang dibuatnya. Perilaku pertama yaitu membersihkan jaring dari partikel dan membiarkan utuh. Perilaku kedua hingga keempat lainnya melibatkan modifikasi dari helai jaring yang berfungsi untuk menyaring yaitu: pemisahan jaring di salah satu sisi, membuat sebuah lubang di bagian tengah jaring, dan menghilangkan jaring secara total (Sudarso, Y.2009).


6.  Pentingnya mengetahui relung bagi aktivitas konservasi adalah dengan mengetahui relung hewan yang akan dikonservasi, maka akan mempermudah mengetahui kebutuhan interaksi untuk mendefinisikan kondisi dan sumber daya alam yang dibutuhkan oleh suatu individu atau suatu spesies untuk menjalankan kehidupannya. Sehingga pada tempat konservasi dapat dimanipulasi sama seperti habitat aslinya (Anonymous.2013).
Rusa Bawean pertama kali diidentifikasi pada tahun 1845 sebagi Cervus Kuhlii. Bemmel (Semiadi, 1999) menyebutkan tentang klasifikasi rusa Bawean adalah sebagai berikut:


Kingdom         : Animalia
Filum               : Chordata
Kelas               : Mammalia
Ordo                : Artiodactyla
Famili              : Cervidae
Genus              : Axis
Spesies             : Axis kuhlii.







Fisiologi
Diyakini bahwa rusa Bawean tidak memiliki masa musim kawin yang tetap. Rusa Bawean (Axis kuhlii) mempunyai masa kehamilan antara 225-230 hari dan melahirkan satu anak tunggal (jarang terjadi kelahiran kembar). Dari hasil penelitian masa kelahiran anak rusa Bawean adalah di bulan Februari hinnga Juni, dengan masa perkawianan antara bulan Juli hingga November.

Perilaku Kawin
Musim kawin terjadi di bukan Juli sampai November, pada saat musim kemarau sedang berlangsung. Masa bunting 7-8 bulan dan diharapkan anak rusa akan lahir dimusim hujan yaitu sekitar Feburuari sampai Juni. Pada saat ini tumbuh-tumbuhan bertunas sehingga akan tersedia cukup makanan bagi anak dan induk yang melahirkan.
Untuk memperebutkan betina didahului dengan perkelahian diantara pejantan-pejatan. Bekas gosokan tanduk pada batang-batang pohon merupakan petunjuk bagi rusa betina akan adanya sang jantan. Sedangkan rusa betina sendiri mengeluarkan cairan dari celah-celah jarinya dengan mengandalkan penciumannya.

Perilaku Harian Di Hutan
Kegiatan hidup rusa Bawean terutama berlangsung pada malam hari (nocturnal). Rusa bawean aktif berkelana mulai pukul 17.00 sampai pukul 21.00 dan mulai menurunkan aktifitasnya pada pukul 02.00 dini hari sampai pukul 05.00 pagi. Pada siang hari rusa Bawean biasanya menghabiskan waktu untuk beristirahat (Alamendah.2009)

Jenis-Jenis Makanan Rusa Bawean
Nama lokal :
1. Daun Anjhujhu
2. Tale Caceng
3. Daun Gundang
4. Daun Nangka
5. Daun Kenyang-kenyang
6. Daun Gheddhung
7. Rumput Gajah
8. Rumput Ladang
9. Tale Atta
10. Daun ampelas
11. Daun lambese
12. Daun andudur
13. Daun pelle
14. Daun ampere
15. Rumput lending-ledingan
16. Daun kangkung tajhin
17. Rumput lapeddhung
18. Daun kacang
19. Buah nangka
20. Buah gheddheng 
21. Buah pellem dan masih banyak jenis daun,rumput, dan buah-buahan lainnya (Anonymous.2009).






DAFTAR PUSTAKA

Ainur.2012.Seminar Biologi. http://ainynur-pinkycute.blogspot.com/2012/05/makalah-seminar-biologi.html. Diakses : 14 April 2013.
Alamendah.2009.Rusa Bawean Penari Ulung Yang Semakin Kritis. http://alamendah.org/2009/12/24/rusa-bawean-pelari-ulung-yang-semakin-kritis/. Diakses : 14 April 2013
Anonymous.2009. Rusa Bawean. http://rusabawean.com/tentang-rusa-bawean-lengkap.html. Diakses : 14 April 2013
Anonymous.2013. Fekunditas. http://id.wikipedia.org/wiki/Fekunditas. Diakses : 18 April 2013.
Anonymous.2013. Relung. http://id.wikipedia.org/wiki/Relung_%28ekologi%29. Diakses : 14 April 2013
Dharmawan,A. dkk.2005, Ekologi Hewan.UM Pers.Malang

Effendi, M. S. 1979. Metode Biologi Perikanan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Hartoyo,D.2012. Pengenalan Dan Pemanfaatan Musuh Alami. http://www.htysite.com/hama%20musuh%20alami%20pengertian.htm. Diakses : 14 April 2013

Kurniasih,R.2011. Pemangsaan, Herbivora, Parasitoidisme Dan Parasitisme.  http://ranikurniasih.blogspot.com/2011/11/pemangsaan-herbivora parasitoidisme-dan.html. Diakses : 14 April 2013

Lestari.2001.Disperse.http://www.lestari.blogspot.com. Diakses : 18 April 2013.
Mangunjaya, Fachruddin M. 2008. Bertahan di Bumi, Gaya Hidup Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Prihatnawati,Y.2012. Aplikasi Konsep Waktu – Suhu Pada Hewan Poikiloterm Dalam Pengendalian Hama Pertanian. html.scribd.com/doc/.../Makalahku-Konsep-Waktu-Suhu. Diakses : 14 April 2013
Rachmawati,A.2012. Populasi Hewan. http://akupendidikandanbiologi.blogspot.com. Diakses : 18 April 2013.
Soegeng.2012.Forum Diskusi Bioetika. http://www.aipi.or. Diakses : 14 April 2013
Stickey, R.R. 1979. Principle of Warm Water Aquaculture. John Willey and Sons. New York
Sudarsono,Y.2009.  Potensi Larva Trichoptera  Sebagai Bioindikator Akuatik.  Pusat Penelitian Limnologi – LIPI. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (2009) 35(2): 201-215.